Pernah suatu kali saya pesan beberapa mangkok soto bersama teman. Kira-kira sebulan lalu, pas kami jalan-jalan di Malang. Iseng-iseng saya tanya "Pak, memang dari lamongan ya, kok jualan soto lamongan?" Apa jawabnya "O, ndak mas. Saya asli malang sini kok !" Lho ya.
Gara-gara soto pula, setiap saya pulang kampung, teman-teman di kampus gak bosan-bosannya pesan soto. Padahal Anda tahu sendiri bukan, berapa jarak surabaya-lamongan? kira-kira 2-2.5 jam perjalanan. Kalau benar-benar saya bawakan soto itu, dikampus pasti sudah dingin. Tentunya tidak nikmat lagi.
Dan, tidak semua orang lamongan bisa bikin soto. Hampir semua kerabat dan keluarga saya (yang notabene asli lamongan) juga kurang mahir membuat masakan berkuah ini (Maaf ibu, bukan berarti masakan bunda gak enak). Paling-paling yang "jago" hanya orang-orang tertentu. Lebih spesifik, begitu maksudnya.
Lalu amrozy? o tunggu dulu. Nama ini juga ikut-ikutan menjadi trademark kota Lamongan. Sayang, bukan brand yang bagus. Sampai-sampai banyak warga asli lamongan yang mesti "tiarap" beberapa saat pasca peledakan bom di bali tahun 2002 silam. Begitu juga "soto lamongan". Saya masih ingat, ketika kawan Ayah saya yang membuka usaha warung di Bali mesti ganti nama. Pokoknya semua yang berbau lamongan harus diganti. "Lho kenapa?" tanya saya keheranan. "Memang mau jadi sasaran amuk massa".
Saya juga masih sering ketiban sial. Jika ditanya asal daerah dan saya jawab "Dari lamongan" selalu saja diikuti dengan kata-kata "Wah, awas ntar di bom loh". Saya tahu, mereka tidak serius, tetapi jika dibiarkan, bisa-bisa citra lamongan sebagai sarang pembuat bom bisa-bisa menjadi brandname sungguhan.
Padahal, Lamongan bukan cuman soto atau amrozy saja. Di kota ini masih banyak potensi lokal yang bisa dikembangkan. Ada masakan khas lainnya, seperti wingko babat, pantai tanjung kodok, tempat ziarah sunan drajat hingga tempat pelelangan ikan di Paciran yang menawarkan beragam ikan laut. Dan, semua juga layak dikunjungi kok !